Oase
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Seuntai Kenangan

Kamis, 15 Agustus 2024

Sebuah Kalung yang Hilang dan Takdir Allah

Ada seorang pria bernama Abu Bakar Al Anshari, yang juga biasa disebut Qadi Al Maristani.

Dia dikenal sebagai orang yang sangat saleh di Makkah. Hal itu karena ketakwaannya; ia merupakan orang yang selalu berusaha menjauhkan diri dari kemurkaan Allah SWT.

Kalung Mutiara yang Hilang
Beliau berkata: “Suatu hari aku berada di jalan Makkah. Saya merasa lapar dan saya mencari makanan. Saya menemukan sebuah tas dengan kalung mutiara yang sangat mahal di dalamnya.”

Kalung itu bukan miliknya, jadi Abu Bakar menutup tas tersebut, membawanya pulang untuk berjaga-jaga jika pemiliknya datang, dan dia kembali ke jalan untuk mencari makanan.

Kemudian, ia mendengar seorang pria berteriak bahwa ia telah kehilangan kalung mutiara, dan ia menawarkan hadiah. Imbalan yang besar bagi siapapun yang dapat menemukannya.

Jadi, Abu Bakar mendatangi orang tersebut dan berkata: “Lihatlah, saya telah menemukan kalung itu, tetapi Anda harus menggambarkannya kepada saya, sehingga saya dapat mengetahui apakah ini milik Anda atau bukan.”

Ketika pria itu mendeskripsikan dengan sempurna, ia mengembalikan kalung tersebut kepadanya. Orang itu mencoba untuk membayarnya dengan hadiah, tetapi Abu Bakar menolak.

Abu Bakar berkata kepada pemilik kalung itu:“Aku tidak melakukan apapun untuk ini, aku tidak mendapatkannya, aku mengembalikan apa yang menjadi milikmu, oleh karena itu aku tidak merasa benar mengambil rezeki karenanya.”

Mencari Kehidupan yang Lebih Baik
Abu Bakar, yang akhirnya menyadari bahwa dia tidak dapat menemukan pekerjaan dan rezeki di Makkah, memutuskan untuk pergi merantau.

Dia memilih untuk naik kapal pergi ke tempat lain seperti yang dikatakan Allah, “Jika kamu tidak dapat mencapai suatu tempat, bumi ini luas, pergilah ke tempat lain.”

Tiba-tiba, badai besar datang dan menghancurkan kapal tersebut. Tak sedikit dari penumpang kapal tersebut yang hanyut dan hilang ditelan lautan. Abu Bakar berkata:

“Untungnya saya dapat meraih sepotong kayu apung, dan angin meniup saya, dan meniup saya, dan meniup saya ke sebuah pulau.”

Ketika sampai di pulau itu, dia mencari orang-orang. Ia tidak dapat menemukan mereka, lalu ia melihat ada sebuah Masjid. Dia masuk dan duduk dan mulai membaca Al-Quran dengan indahnya.

Orang-orang di pulau itu mulai mendengar lantunan Al-Quran yang indah dan merdu itu. Mereka pergi untuk melihat siapa orangnya, dan mereka menemukan Abu Bakar di dalam Masjid, sedang membaca Al-Quran. Dan mereka berkata kepadanya:

“Engkau tahu bagaimana cara membaca Al-Quran dengan indah, maukah engkau mengajari kami dan anak-anak kami bagaimana cara melakukannya? Dan kami akan membayarmu dan memberimu tempat tinggal.”

Dia setuju dan mereka mulai menggajinya, hingga dia dapat memiliki sebuah rumah di sana, dan dia melakukan hal ini untuk sementara waktu.

Kemudian, suatu hari, dia duduk di masjid sambil membaca beberapa halaman Al-Quran yang tergeletak di masjid. Dan orang-orang berkata kepadanya:

“Ajarilah kami dan anak-anak kami membaca dan menulis, maka kami akan menaikkan gajimu dan menggajimu lebih banyak lagi.”

Maka mereka mulai menaikkan gajinya, mengupahnya dengan lebih banyak lagi. Sehingga dia kembali tinggal bersama mereka untuk sementara waktu.

Allah SWT adalah Perencana Terbaik
Hingga akhirnya Abu Bakar merasa ia sudah cukup lama menetap di tempat itu.

“Saya sudah cukup lama di sini, saya ingin meneruskan perjalanan hidupnya. Pindah ke tempat lain.”

Orang-orang menyadari bahwa Abu Bakar akan pergi, sedangkan mereka tidak ingin dia pergi. Jadi mereka berkata:

“Kita harus mempertahankannya di sini.” Maka mereka menyusun rencana yang sangat bagus untuk membujuknya agar tidak meninggalkan mereka. Mereka berkata:

“Jika kita menikahkannya, dia tidak akan pergi kemana-mana.”

Ada seorang gadis, dikenal sebagai salah satu yang paling cantik, saleh, dari keluarga yang paling dekat kepada Allah. Seorang gadis yang baru saja menjadi yatim piatu.

Jadi, mereka mencoba menikahkannya dengan gadis itu dan ia menolak, kemudian mereka berdebat lagi dan lagi sampai akhirnya Abu Bakar setuju untuk menikah.

Pernikahan pun dilangsungkan, dan Abu Bakar dipertemukan dengan sang pengantin wanita.

Sesaat setelah menatap wanita yang kini menjadi istrinya, tiba-tiba Abu Bakar menundukkan kepalanya. Air mata bercucuran dari wajahnya.

Ketika mereka bertanya kepadanya mengapa dia menangis, Abu Bakar berkata:

“Alasannya adalah karena saya telah mengenali kalung yang dikenakannya. Aku menemukan kalung ini di jalan Makkah suatu hari, dan aku mengembalikan kalung itu kepada pemiliknya.” Mereka berkata:

“Ayahnya adalah pemilik kalung ini. Dan kami sering mendengarnya berbicara tentang pria yang ia temui di Makkah, yang merupakan salah satu Muslim paling saleh dan jujur yang pernah ia temui selama hidupnya; kami sering mendengarnya berdoa secara terbuka kepada Allah, agar pria itu menikah dengan putrinya. Dan di sinilah engkau.”

Dan dia menikah dengannya, dia mendapatkan anak, dan dia menjadi sangat kaya.

Meyakini Rencana Allah SWT
Anda tahu, ketika Abu Bakar Al Anshari terombang-ambing di atas kayu apung di lautan, saya yakin dia tidak bisa memahami rencana Allah SWT. Dia tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Sedikit yang ia ketahui bahwa meski ia memiliki rencana, Allah SWT juga memiliki rencana lain untuk menjawab doa sang ayah. Dan Abu Bakar tidak melakukan apa-apa selain dituntun menuju tujuan itu oleh Allah SWT.

Jadi Abu Bakar punya rencana dan Allah SWT juga punya rencana. Dan mungkin Abu Bakar tidak melihatnya. Tapi, hal itu terjadi sebagaimana mestinya.

Anda tahu, begitulah kehidupan terkadang. Kadang-kadang tidak terlihat seperti berjalan dengan baik, tapi Allah SWT punya rencana.* hidcom

Baca Selengkapnya..

Selasa, 19 Maret 2024

Renungan Kematian sebelum Mati.

Konon orang yang mati awalnya tidak menyadari bahwa dirinya mati. Dia merasa dirinya sedang bermimpi mati. Dia melihat dirinya ditangisi, dimandikan, dikafani, dishalati hingga diturunkan ke dalam kubur. Dia merasa dirinya sedang bermimpi saat dirinya ditimbun tanah. Dia berteriak-teriak tapi tidak ada yang mendengar teriakannya.

Beberapa waktu kemudian, saat semua sudah pulang meninggalkannya sendirian di bawah tanah, Allah kembalikan ruhnya. Dia membuka mata, dan terbangun dari “mimpi” buruknya.

Dia senang dan bersyukur, bahwa ternyata apa yang dia alami hanyalah sebuah mimpi buruk, dan kini dia sudah bangun dari tidurnya. Kemudian dia meraba badannya yang hanya diselimuti kain sambil bertanya kaget:

“Dimana bajuku? Kemana celanaku?” Lalu dia meraba sekelilingnya yang berupa tanah “Dimanakah aku? Tempat apa ini? Kenapa bau tanah dan lumpur?” Kemudian dia mulai menyadari bahwa dia ada di bawah tanah, dan sebenarnya apa yang dialaminya bukanlah mimpi! Ya, dia sadar bahwa dirinya benar-benar telah mati.

Berteriaklah dia sekeras-kerasnya, memanggil orang-orang terdekatnya yang dianggap bisa menyelamatkannya:


“Ibuuuuu….!!!!”
“Ayaaaaaah…!!!!”
“Kakeeeeek!!!”
“Neneeeek!!”
“Kakaaaaak!!!”
“Sahabaaaaat!!!”

Tidak ada seorangpun yang menjawabnya. Dia yang selama ini lupa pada Allah pun ingat bahwa ALLAH adalah satu-satunya harapan.

Menangis lah dia sambil meminta ampun, “Ya, Allaaaaaaah…. Ya Allaaaaaaah…. Ampuni aku ya Allaaaaaaah….!!!”

Dia berteriak dalam ketakutan yang luar biasa yang belum pernah dirasakan sebelumnya sepanjang hidupnya.

Jika dia orang baik, akan muncullah dua malaikat dengan wajah tersenyum dan akan mendudukkannya dan menenangkannya, menghiburnya dan melayaninya dengan pelayanan yang terbaik.

Jika dia orang buruk, akan datang dua malaikat dengan wajah bengis yang akan menambah ketakutannya dan akan menyiksanya sesuai keburukannya.

Pertolongan Al-Quran di Alam Kubur

Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tiada penolong yg lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya)

Al Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aalli Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang – orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba -tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang – orang mulai meninggalkannya, datanglah 2 malaikat. Yaitu Malaikat Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata: “Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan utk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam surga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata, “Aku adalah Al Quran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”

Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la (Himpunan Fadhilah Amal : 609)

llahu Akbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadits ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Al-Quran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Al-Quran akan menuntut kita.

Banyak riwayat yang menerangkan bahwa Al-Quran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ya Allah, ampunilah dosa kami, dosa ibu bapak kami, keluarga kami, saudara kami dan seluruh kaum muslimin, Ya Allah, jangan Engkau cabut nyawa kami saat tubuh kami tak pantas berada di SurgaMu. Aamiin.

Baca Selengkapnya..

Rabu, 16 Februari 2022

Inilah Nominasi Manusia Manusia Terbaik

Setiap tahun, biasanya kita akan mendengar pengumuman tokoh terbaik versi lembaga A, atau figur paling berpengaruh menurut majalah B. Belum lagi berbagai kontes dan kompetisi yang akan menghasilkan nominasi “manusia-manusia terbaik”, menurut versi dan kriteria yang beraneka ragam.

Sejenak, mari kita bertanya, apakah Islam tidak menjelaskan siapa manusia-manusia terbaik itu, sehingga kita layak berlomba-lomba menjadi – paling kurang – salah satunya? Lalu, siapakah manusia-manusia terbaik menurut Islam itu? Inilah sebagian diantaranya.

Pertama, orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an

Diriwayatkan dari ‘Utsman: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Hadits riwayat Bukhari).

Inilah Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, seorang tabi’in yang merasa terhormat dan bangga telah duduk di masjid mengajarkan Al-Qur’an selama 40 tahun. Adakah kita termasuk kelompok ini? Jika bukan, bagaimana dengan manusia terbaik berikutnya?

Kedua, orang yang paling baik dalam melunasi hutangnya

Abu Hurairah bercerita, bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menagih hutang. Namun, ia bersikap kasar kepada beliau. Sebagian sahabat pun hendak menghajarnya, namun dicegah oleh beliau.

Beliau lalu bersabda, “Biarkan dia, sebab orang yang mempunyai hak memang berhak berbicara. Berikan kepadanya unta yang seusia dengan unta (yang kupinjam) darinya.” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan kecuali unta yang lebih baik dari unta (yang Anda pinjam) darinya?” Beliau menjawab, “Berikan saja itu padanya, sebab orang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, redaksinya milik Bukhari).

Lihatlah Nabi kita itu, betapa lapang dada dan pemurahnya! Beliau dikasari umatnya, namun tidak mengizinkan sahabat-sahabatnya yang hendak menghajar orang itu. Justru beliau membayar hutangnya dengan nilai yang lebih baik dan lebih besar!

Tentu ini tidak ada hubungannya dengan rentenir yang mengejar-kejar pedagang kecil di pasar-pasar dengan bunga pinjaman yang mencekik leher. Sebab yang terakhir ini adalah riba yang diharamkan, sementara apa yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kelapangdadaan seorang pemimpin, ketulusan dalam memberi, dan komitmen untuk menjaga hak-hak orang lain. Apakah kita bisa seperti ini? Jika belum, bagaimana dengan manusia terbaik berikutnya?

Ketiga, orang yang bisa dipercayai kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya

Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri dan berbicara di hadapan sekelompok orang yang duduk, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang terbaik diantara kalian, dibandingkan orang terburuk?” Mereka diam tidak menjawab, dan beliau mengulangi perkataannya sampai tiga kali.

Lalu, ada salah seorang dari mereka yang berkata, “Mau, wahai Rasulullah. Beritahu kami siapa yang lebih baik diantara kami dibanding yang buruk.”

Beliaupun bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang bisa diharapkan kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya, sebaliknya orang terburuk diantara kalian adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan (kalian) tidak merasa aman dari kejahatannya.” (Hadits hasan-shahih, riwayat Tirmidzi).

Siapakah kita di mata orang-orang di sekitar kita? Apakah mereka merasa aman dan percaya pada keselamatan diri dan hartanya tatkala berada di dekat kita; saat berjumpa dan berbicara dengan kita; ketika berinteraksi dan berurusan dengan kita?

Atau sebaliknya, mereka selalu diliputi ketakutan dan terancam sekedar mendengar kita akan datang; dan langsung berputus asa saat kita benar-benar telah hadir? Hamba Allah macam apa kita ini jika tidak bisa menciptakan rasa aman bagi sekelilingnya?!

Keempat, orang yang memperlakukan istrinya dengan baik

Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik dalam memperlakukan istrinya. Dan aku adalah yang terbaik diantara kalian dalam memperlakukan istrinya.” (Hadits shahih, riwayat Tirmidzi, bagian akhirnya diringkas).

Maka, para ulama’ selalu memperhatikan dengan teliti siapa calon suami dari anak-anak perempuannya. Sebagian mereka memberitahu putrinya, mengapa menikahkannya dengan seorang calon suami yang dipilih karena keshalihan dan agama, bukan yang lain.

Dikatakannya, “(Orang yang shalih itu), jika ia mencintaimu maka ia akan memuliakanmu, namun jika ia membencimu maka ia tidak akan menzhalimimu.”

Ya, keshalihannya akan menjadi kendali yang memacunya berbuat baik bila hatinya ridha, namun segera mengekangnya agar berhati-hati ketika marah. Betapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh suami yang bejat dan rusak moralnya; yang tidak beragama dan fasiq (ahli maksiat).

Bisa jadi, di rumah ia menzhalimi istrinya, sementara di luar sana ia menggoda istri orang lain. Tercelalah para suami yang di siang hari memukuli istrinya seperti menyiksa budak, namun di malam hari ia menggaulinya!

Inilah sebagian dari manusia-manusia terbaik yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Masih banyak yang lain, yang dapat kita temukan dalam kitab-kitab hadits. Maka, seharusnya kita tidak berkecil hati jika tidak dinominasikan sebagai “yang terbaik” dalam kontes-kontes buatan manusia.

Bila kita belum bisa menjadi pengkaji atau guru Al-Qur’an, berusahalah menjadi orang yang melunasi pinjaman dan kredit dengan baik. Atau, berusahalah menjadi orang yang bisa dipercayai kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya.

Atau, jadilah sorang suami yang baik. Semoga Allah membimbing agar salah satu, atau sebagian besar sifat-sifat baik itu, terpatri dalam jiwa kita. Amin.

*Hidayatullah.or.id
Baca Selengkapnya..

Jumat, 30 Maret 2018

Indahnya Istri shalihah

Rumah tangga bahagia? wah siapa yang tak kepingin? Ini sebuah kisah perjalanan rumah tangga seorang istri yang mencintainya suaminya semata-mata karena cintanya kepada Allah Hari itu merupakan hari bahagiaku, alhamdulillah. Aku telah menyempurnakan separo dienku: menikah. Aku benar-benar bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir aku mengucap puji syukur kepada-Nya. Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang tertutup cadar, menambah hatiku tenang. Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah. Wida, begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun dari aku. Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih keras daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu dituruti dengan senyuman indahnya. Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, “Apakah Aa’ (Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?” Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil darinya dan kami pun tertawa. Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dunia hanyalah kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri shalihah.” (Riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah. Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis malam-malam begini. Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu. Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullah…alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku. Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun mendapatkannya. Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam permintaan istriku. Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, “Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku utamakan.” Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya mengantar kepergianku. “Alhamdulillah,” kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu. “Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak itu lakukan malam ini,” katanya. Aku pun mengaminkannya.* (Kusnadi Assaini/Hidayatullah)
Baca Selengkapnya..

Minggu, 30 Januari 2011

Kebesaran Hati

Ada seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya. Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.

Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas dan di aduk perlahan.

“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya?” ujar pak tua

“Pahit sekali” jawab pemuda

Pak tua itu tersenyum, mengajak pemuda itu utuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Mereka berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.

Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.

“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah”

Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya?”

“Segar” sahut si Pemuda

“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?” tanya pak tua

“Tidak” sahut Pemuda

Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata “Anak muda…Dengarkan baik-baik,

Pahitnya kehidupan sama seperti segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama.

Tapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yg kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.

Jadi saat Anda merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, Hanya ada satu yg Anda dapat lakukan, Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, Luaskanlah hatimu utuk menampung setiap kepahitan itu”

Hatimu adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.

“Jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, d merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.*syakirin.net
Baca Selengkapnya..

Jumat, 27 November 2009

Umur yang Mencair Seperti Es

Cepat sekali waktu berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita... semakin dekat ke liang lahat. Saudaraku, entah, apakah pertambahan dan perguliran waktu itu, berarti mendekatkan diri kita pada kenikmatan surga. Atau mendekatkan kita pada kesengseraan neraka. Nauzubillah..

Rasulullah saw. Menyifatkan cepatnya perjalanan waktu kehidupan seperti perjalanan seorang musafir yang hanya sejenak berhenti di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat panjang. Para ulama juga banyak menguraikan ilustrasi tentang hidup yang amat singkat ini. "Umurmu akan mencair seperti mencairnya es, " kata Imam Ibnul Jauzi. (Luthfu fil Wa'z, 31)

Saudaraku, sahabatku,
Semoga Allah memberkahi sisa usia kita, Permasalahan terbesar setiap orang adalah ketika kecepatan umur dan waktu hidupnya tidak seiring dengan kecepatannya untuk menyelamatkan diri dari penderitaan abadi di akhirat. Ketika, usia yang sangat terbatas itu tidak berfungsi sebagai pelindung diri dari beratnya adzab dan siksa Allah swt. Di saat, banyaknya hembusan dan tarikan nafasnya tak sebanding dengan upaya dan jihadnya untuk terhindar dari lubang kemurkaan Allah. Ketika, jumlah detak jantung dan aliran darah yang di pompa di dalam tubuhnya, tak sebanyak gerak dan tingkahnya untuk menjauhi berbagai kemaksiatan yang dapat memunculkan kesengsaraan akhirat.

Saudaraku,
Sesungguhnya jiwa kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah jiwa ini akan kembali....
Suasana hati seperti inilah yang perlu kita tumbuhkan. Adakah di antara kita yang tidak mempunyai dosa? Atau merasa mampu menebus kotoran dan dosa yang telah dilakukan selama puluhan tahun usia yang telah lewat? Tentu tidak. Perasaan kurang, merasa banyak melakukan kemaksiatan, lalu menimbulkan penyesalan adalah bagian dari pintu-pintu rahmat Allah yang akan mengantarkan kita pada taubat. Suasana hati seperti inilah yang akan mendorong pemilikinya bertekad mengisi hari dengan amal yang lebih untuk menebus kesalahan yang lalu.

Saurdaraku, mari menangguk pahala, meraih rahmat dan ampunan Allah sebanyak-banyaknya sekarang juga. Perbanyaklah dzikir, bersedekah, berjihad dan beramal shalih...Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan. Sekarang dan jangan tunda-tunda lagi niat baik kita.... Semoga Allah meneguhkan kekuatan kita untuk melakukan kebaikan yang kita niatkan...
Amiiin. *dudung.net

Baca Selengkapnya..